Selasa, 08 Oktober 2013

BELAJAR DARI SEEKOR ULAT

Oleh  : Syams Al-Fikr
Ulat berbulu merupakan jenis binatang kecil yang oleh sebahagian orang dianggap sebagai suatu binatang yang sangat menjijikkan dan menakutkan meski bianatang itu kecil dan tidak berdaya. Namun bagaimanakah caranya binatang (ulat berbulu) ini mengubah dirinya supaya menjadi binatang yang tidak lagi menjijikkan atau menakutkan bahkan disukai oleh banyak orang..? ternyata hal itu tidaklah terlalu sulit bagi seekor ulat, dimana dia masuk kedalam kepompong. Didalam kepompong ulat ini melakukan puasa, berzikir dan bertafakkur selama kurang lebih 36 hari, dan apa yang terjadi setelah itu ? ternyata setelah keluar dari kepompong ulat bulu yang tadinya menjijikkan dan menakutkan kini telah berubah wujud menjadi seekor kupu-kupu yang sangat menarik, berwarna warni, dan terbang kesana kemari.
Begitulah sebenarnya yang diharapkan dari diwajibkannya puasa ramadhan bagi orang-orang beriman, dengan puasa ramadhan diharapkan bahwa manusia yang tadinya memiliki tabi'at serta prilakunya seringkali membuat orang lain jadi merasa kesal, menyebalkan dan jika betul-betul ingin memperbaiki diri, hendaknya bisa mengambil ibrah (pelajaran) dari ulat bulu, yaitu dengan masuk kedalam kepompong ramadhan, ikuti sistem yang berlaku, patuhi segala aturan dan ketentuan-ketentuan syari'at sebagaimana kepatuhan ulat didalam kepompong. Lantas kenapa harus 36 hari ? logikanya adalah dengan puasa 30 hari (1 bulan) pada bulan ramadhan masih belum cukup, akan tetapi perlu disempurnakan dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal, yang mana dalam sebuah hadist Rasulullah Saw bersabda yang artinya " Barang siapa yang berpuasa penuh dibulan ramadhan dan ditambah 6 hari puasa syawwal maka nilainya setara dengan puasa satu tahun."

Sumber rujukan  : Pendakian Menuju Allah
Oleh  :Dr.Achmad Mubarok, MA

***
“Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Minggu, 06 Oktober 2013

MENJADI GENERASI RABBANI BUKAN RAMADHANI


Oleh  : Syam Al-Fikr
   Sudah merupakan tradisi sebahagian besar ummat islam, pada umumnya ketika masuk ramadhan, intensitas untuk beribadah mengalami peningkatan yang sangat luar biasa. Kondisi ini terlihat dimana-mana, pada setiap waktu shalat mereka berbondong-bondong menenteng sajadah mendatangi mesjid, mushalla, dan tempat-tempat ibadah lainnya untuk melaksanakan shalat berjama'ah, apalagi pada sepuluh malam pertama dimana mesjid, mushalla dan tempat-tempat ibadah lainnya sampai tidak mampu untuk menampung jama'ah yang melaksanakan shalat tarawih. Lantunan Qiro'atul Qur'an, ceramah-ceramah, mudzakarah serta kegiatan-kegiatan ibadah lainnya hampir terdengar dan kita lihat pada setiap waktu. Kondisi ini cukup melegakan hati kita, akan tetapi ini tidak berlangsung lama, ketika ramadhan sudah mulai masuk pada sepuluh malam kedua dan ketiga semangat itu mulai terlihat menurun, mesjid, mushalla, atau tempat-tempat ibadah lainnya yang biasanya penuh sesak oleh jama'ah yang melaksanakan shalat mulai terlihat longgar apalagi ketika kita sudah masuk pada bulan syawwal, dzulqaidah, dzulhijjah, dst yang tersisa hanyalah jama'ah yang sudah terbiasa shalat berjam'ah di mesjid pada waktu-waktu diluar ramadhan ditambah dengan beberapa jama'ah lainnya yang tengah berupaya untuk menjadi hamba yang bertaqwa. Lantas, kemana jema'ah lainnya yang ketika pada bulan ramadhan penuh sesak membanjiri masjid, mushalla dan tempat-tempat ibadah lainnya.
    Memang tak bisa kita pungkiri bahwa daya tarik bulan ramadhan sangat luar biasa sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah dalam sebuah hadist yang artinya : Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151), kemudian dalam hadist yang lain juga dijelaskan “ bahwa amalan sunnah dibulan ramadhan diganjar sama dengan amalan wajib pada bulan-bulan lainnya “
      Jadi inilah yang memotivasi ummat islam untuk memperbanyak amal ibadah pada bulan ramadhan, akan tetapi begitu keluar dari ramadhan intensitas amal menurun dan kembali seperti sedia kala, mereka tak lagi datang kemesjid, tak lagi membaca Al-Qur’an, tak lagi bersadaqah, tak lagi berpuasa dan lain sebagainya, seolah-olah mereka kenal Allah hanya dibulan ramadhan diluar itu mereka lupakan Allah. Lantas bagaimana pengaruh pelatihan ramadhan selama satu bulan terhadap peningkatan kualitas iman dan ketaqwaan mereka...?? sama sekali tidak berbekas, karena ibadah-ibadah yang dilakukan pada bulan ramadhan tidak semata karena Allah akan tetapi karena ramadhan sehingga lebih pantas disebut sebagai hamba ramadhani yaitu hamba yang kenal dengan Allah hanya dibulan ramadhan, lain halnya dengan hamba rabbani dimanapun mereka, kapanpun mereka baik pada bulan ramadhan maupun pada bulan-bulan lainnya diluar ramadhan  mereka tetap mengenal Allah, intensitas ibadahnya terus meningkat, shalatnya tetap dijaga dan senantiasa beribadah hanya untuk Allah. Adapun ciri-ciri yang lain dari seorang generasi rabbani dapat kami uraikan seperti berikut ini :
Generasi Rabbani tak kenal henti. Ia terus bergerak dalam upaya mendekatkan diri kepada Rabb nya. Hingga tak jarang ia harus mengesampingkan keinginan hawa nafsunya untuk sesuatu yang lebih besar di sana. Ia beribadah tak mengenal waktu dan tempat. Bibir mereka selalu basah dengan dzikir dan perkataan mereka tidak ada yang sia- sia. Hadirnya selalu dirindu bak oase di padang pasir.
Keimanan bukan musiman. Ia harus selalu hadir dalam setiap waktu,  bersama siapa pun, dan dalam kondisi bagaimana pun. Ramadhan hendaknya menjadi ajang latihan bagi kita untuk menghadirkan diri kita kembali sesuai fitrahnya. Ramadhan adalah saat yang tepat untuk mencharge kembali ruhiyah kita agar mampu bertahan hingga 11 bulan ke depan.
Keberhasilan Ramadhan terlihat dari kondisi kita di 11 bulan lainnya. Ini adalah indikator bahwa kita memang dianjurkan untuk menjadi sosok Rabbani, bukan Ramadhani. Ibadah harus terus memuncak setiap waktu, hati harus terus merendah dalam perjalanan hidup, dan pikiran harus tetap terjaga dalam setiap langkah. Itulah suksesnya Ramadhan yang sesungguhnya.
Ramadhan secara tidak langsung akan membentuk pribadi yang demikian ketika kita benar- benar memandang moment ini sebagai moment perbaikan. Tidak ada satu kegiatan pun yang tak bernilai pahala di bulan ini, bahkan tidur seorang muslim yang berpuasa juga adalah ibadah. Luar biasa.
Generasi Rabbani adalah harapan kita bersama. Mewujudkannya tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Oleh karena itu, mari manfaatkan Ramadhan sebaik mungkin. Tekadkan dalam hati bahwa kita adalah muslim yang beriman namun bukan musiman. Jadilah generasi Rabbani
Hamba rabbani akan menggetarkan dinding-dinding malam dengan dzikirnya, kapan saja dan dimana saja. Hamba rabbani akan menggetarkan atap-atap langit dengan tasbih dan tahmidnya kapan saja dan dimana saja.
Hamba rabbani akan menggelar “konser” tahlil di mesjid-mesjid, di mushala-mushala, di kereta-kereta, di mobil-mobil dan dimana saja dia berada. Bibirnya senantiasa basah dengan berdzikir kepada Allah, kalbunya penuh dengan cahaya Allah. Hamba rabbani terus berjalan di atas shiratal mustaqim.
Hamba rabbani memiliki mata anti maksiat, telinga anti desas-desus, mulut anti fitnah dan adu domba. Hatinya sebening mutiara dan pikirannya secerah bintang kartika.
Tak heran jika hamba-hamba rabbani ini akan menjadi suluh dan secercah cahaya yang akan memberikan penerangan terhadap manusia-manusia lain. Bukan hanya di bulan Ramadhan saja, namun di setiap detakan waktu, di setiap tarikan nafas, di setiap langkah kaki. Dia menjadi musuh utama hamba syaitani, manusia-manusia yang mengabdi pada kehendak syetan dan hawa nafsunya. demikian kajian singkat ini semoga bermanfaat.

***
 

IBARAT BENGKEL SUPER MUTAKHIR

Oleh  : Syam Al-Fikr
     Ada banyak hal yang dapat kita jadikan sebagai sebuah parameter untuk melihat kualitas prilaku kita, salah satunya adalah sepeda motor, yang mana kita semua tentu banyak tahu tentang kendaraan roda dua ini. Ketika kendaraan ini baru keluar dari dealer, tentu segalanya baru, orisinil, dan yang pasti kondisinya sangat bagus serta enak untuk digunakan. Seiring dengan perputaran waktu dan karena sering dipakai oleh pemiliknya, maka kendaraan yang tadinya bagus sudah pasti akan mengalami perubahan pada komponen-komponen yang ada pada mesinnya karena pihak pabrik tentu sudah menentukan standar mutu untuk setiap kendaraan yang diproduksinya. Oleh karena itu menjadi tugas dari sang pemilik untuk senantiasa memberikan perhatian terhadap kendaraan tersebut, semakin besar perhatian sang pemilik terhadap kendaraan tersebut maka kondisi kendaraannya akan semakin terjaga.
      Sebagaimana halnya dengan kendaraan yang baru, maka kitapun terlahir dalam keadaan bersih dan suci yang dalam bahasa agama " dalam keadaan fitrah ". Namun seiring dengan rotasi waktu kitapun sudah pasti akan menemui polusi dan erosi, sehingga sedikit demi sedikit noda atau bercak hitam akan menghiasi hati kita. Hal inilah yang seringkali membuat kita terhinggapi berbagai macam penyakit hati, seperti : iri, dengki, benci, khianat, pemarah, riak, dll. Jika semua ini kita biarkan, lama kelamaan akan membatu dan berkarat dalam hati kita yang akhirnya akan menggiring diri kita kepada jurang kehancuran, kenistaan atau keburukan. Oleh karena itu seperti halnya dengan kendaraan, apabila mengalami kerusakan akan dibawa ke bengkel untuk diperiksa secara teliti dan menyeluruh, diberi pelumas, komponen-komponen yang sudah rusak diganti dengan yang baru, di tune up kembali dengan harapan begitu keluar dari bengkel kendaraan itu akan seperti baru. Begitu juga dengan kita, Allah telah menciptakan ramadhan sebagai bengkel tanpa biaya dengan tekhnisi yang tidak ada bandingannya ( Allah Swt ) untuk merawat dan men-tune up kembali iman kita, jiwa dan raga kita secara menyeluruh dengan harapan begitu kita keluar dari bengkel ramadhan kondisi iman kita jauh meningkat dari sebelumnya sehingga pantaslah kita menyandang predikat " muttaqien " dengan ciri-ciri seperti yang telah digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur'an. Jadi bisa kita katakan bahwa bengkel ramadhan mampu memberikan service yang over mutakhir dan luar biasa. Ini hanya berlaku dan dapat dirasakan oleh mereka-mereka yang telah memiliki kartu keimanan dan berpredikat " beriman " dengan tanda-tandanya sebagaimana yang banyak dijelaskan oleh Allah didalam Al-Qur'an dan hadist-hadist shahih. Oleh karena itu perintah puasa itu sangat istimewa hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, tidak sembarang orang dapat memasukinya kecuali orang-orang beriman. ( Baca Kajian Selanjutnya... !! )

                                                                              Sumber : " Energi Cahaya Ilahi "
                                                                                             Oleh       : Abu Sangkan

TUJUAN SYARI'AT PUASA PADA BULAN RAMADHAN

Oleh : Syam Al-Fikr

   Tujuan yang paling utama disyari'atkannya puasa bagi orang-orang beriman pada bulan ramadhan adalah agar mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa, hal ini telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
    Dari ayat diatas sudah sangat jelas, bahwa tujuan daripada disyari'atkannya ibadah puasa oleh Allah pada bulan ramadhan adalah agar orang-orang yang melaksanakannya dengan benar dan sesuai dengan sistem menjadi orang yang bertaqwa. Selanjutnya tentang ciri-ciri dari orang yang bertaqwa itu banyak ayat Al-Qur'an yang menjelaskannya, diantaranya dalam surat Ali-Imran 133 - 135 yang berbunyi :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135)
Dan bersegeralah kalian menuju kepada ampunan Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi, yang sudah dipersiapkan untuk orang-orang yang bertakwa (135)

(Orang-orang yang bertakwa itu adalah) orang-orang yang menginfakkan hartanya dalam keadaan senang maupun susah, yang menahan kemarahannya dan mudah memaafkan orang lain. Dan Allah itu mencintai orang-orang yang berbuat baik (134)
Dan orang-orang yang apabila memperbuat kesalahan atau menzhalimi diri mereka sendiri, mereka mengingat Allah lalu mereka meminta ampun atas dosa-dosa mereka. Dan tak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Allah. Mereka juga tidak berterus-terusan dalam perbuatan salah mereka padahal mereka mengetahui (135)
     Jika kita simak dengan cermat tentang makna dari ayat tersebut diatas sangat jelas disebutkan bahwa sebahagian dari tanda-tanda orang yang taqwa adalah mereka yang senantiasa berinfak baik dalam keadaan senang maupun susah, mampu menahan amarahnya, suka memberi maaf, senantiasa berzikir serta banyak beristighfar ketika mereka berbuat salah, senantiasa berada dalam kebenaran. Jadi  inilah sifat-sifat atau kepribadian yang diharapkan dari seorang muslim beriman setelah mereka keluar dari ramadhan, inilah sifat dan prilaku yang seharusnya tertanam dalam hati seorang ketika kita sudah keluar dari ramadhan. Akan tetapi pada kenyataannya kini sudah hampir dua bulan ramadhan berlalu, masihkah kita senang dengan Al-Qur'an, masihkah kita senang ke mesjid untuk shalat jama'ah, masihkah kita suka dengan Qiyamullail dan shalat sunnah lainnya, masihkah kita suka berinfak sebagaimana halnya pada bulan ramadhan ???, dan yang lain lagi masihkah puasa itu melekat dalam diri kita, dalam arti puasa dari mencuri, puasa dari memfitnah, puasa dari ghibah, puasa dari menipu, puasa dari korupsi, puasa dari rasa iri dan dengki, dan lain-lainnya. Jika itu semua tidak lagi kita lakukan, apakah pantas kita disebut sebagai pemenang..?? ( Baca kajian selanjutnya )

Sabtu, 05 Oktober 2013

BENARKAH KITA SUDAH MENANG...???

Oleh  : Syam Al-Fikr
    Ketika hilal mulai membentuk potongan lengkung sebuah sabit, pertanda 1 syawal mulai masuk, ramadhanpun sudah beranjak meninggalkan kita, kumandang takbir, tahmid serta tahlil mulai menyapa gendang telinga, saling bersahutan, membahana merasuk diantara celah dinding-dinding qalbu yang tengah berbalut rasa menyambut tibanya Idul Fithri. Ada perasaan sedih, karena bulan penuh rachmat, barokah dan maghfirah sudah tak lagi bersama kita, adapula perasaan cemas kalau-kalau amal ibadah yang kita lakoni selama ramadhaan tidak diridhoi dan tidak diterima oleh Allah Swt sebagaimana dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda : 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الظَّمَأُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ. (رواه الدارمي) 
 
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Berapa banyak orang yang berpuasa,  sedang ia tidak mendapat apa-apa dari puasanya itu melainkan hanya lapar dan haus  dan berapa banyak pula orang yang mengerjakan sembahyang (sunat pada malam hari), sedang ia tidak mendapat apa-apa dari sembahyangnya itu melainkan hanya menahan kantuk dan berjaga malam"(Hadist Riwayat Darimi)".
     Lalu disisi lain adapula rasa haru, bangga bercampur bahagia menyambut tibanya Idul Fithri yang oleh sebahagian besar masyarakat disebut sebagai " HARI KEMENANGAN " setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu dan merasa telah memenangkan jihad tersebut. Terkadang agak sulit untuk kita fahami apakah kebahagiaan yang kita rasakan saat itu disebabkan karena kita betul-betul merasa telah memenangkan pertempuran tersebut, ataukah kebahagiaan yang kita rasakan tersebut disebabkan karena kita merasa telah terbebas dari kekangan rasa haus, lapar dan kekangan syahwat disiang hari, dan yang paling lucu adalah banyak diantara kita yang hanya sekedar ikut-ikutan bahagia ( merayakan kebahagiaan orang lain ) padahal ketika ramadhan kita jarang melaksanakan perintah Allah dan Rasul Nya bahkan justru sebaliknya kita lebih banyak berma'siat kepada Nya, lantas pantaskah kita merayakan kemenangan itu...?, pantaskah kita disebut sebagai pemenang ...??, dan yang lebih membanggakan lagi ada yang mengatakan bahwa kita ini ibarat seorang pahlawan ( prajurit ) yang baru kembali dari medan pertempuran dan mendapatkan kemenangan yang gemilang dan adapula yang mengatakan bahwa kita ini ibarat seorang yang baru lulus dari ujian dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Karena itu tidaklah heran ketika ponsel mulai kita aktifkan berpuluh-puluh pesan singkat masuk memenuhi layar monitor, dan inti dari pesan-pesan tersebut adalah ucapan  :" Selamat Idul Fithri, Minal 'Aidin Wal Fa'izin ".  Walaupun belum ditemukan dasar yang kuat untuk penggunaan ungkapan ini baik dari hadist rasul maupun dari perkataan para saahabat, namun ungkapan ini cukup populer dikalangan masyarakat islam karena didalamnya terkandung do'a dan harapan yaitu semoga kita kembali kepada fithrah, semoga kita termasuk orang-orang yang menang, ungkapan ini memang cukup relevan dengan situasi yang dirasakan oleh ummat islam saat itu, dan waktunyapun sangat tepat. Yang menjadi pertanyaan " apakah kita betul-betul telah menang melawan hawa nafsu...? lantas kalau kita sudah merasa menang bagaimana mempertahankan kemenangan itu pada sebelas bulan berikutnya ...?, bagaimana ciri-ciri daripada orang yang menang itu...??.
Untuk memahami tentang makna, ciri-ciri, serta hakikat dari kemenangan tersebut mungkin ada baiknya kita coba mengulas kembali tentang tujuan Allah mewajibkan puasa kepada orang-orang beriman...( Baca kajian selanjutnya... )


______________________